PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (CIVIC EDUCATION) DAN MASA DEPAN DEMOKRASI INDONESIA

A. Pendahuluan

Dewasa ini “demokrasi” menjadi pembicaraan hangat berbagai lapisan masyarakat mulai dari kalangan kelas bawah sampai kelas elit seperti kalangan elit politik, birokrat pemerintahan, tokoh masyarakat, mahasiswa, dan kaum professional. Wacana demokrasi seringkali dikaitkan dengan berbagai pesoalan, seperti “Islam dan demokrasi”, “Politik dan demokrasi”, “pendidikan dan demokrasi”, dan masih banyak lagi. Pembicaraan mengenai “demokrasi” semakin membuat masyarakat lebih mengenali lebih dalam tentang demokrasi sehingga menimbulkan dorongan agar kehidupan bernegara, berbangsa, dan bernegara menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi.

Bagi Negara yang sedang bertransisi menuju demokrasi seperti Indonesia, pendidikan kewarga negaran sangat di perlukan guna mendukung dan memperkuat barisan masyarakat sipil yang beradab.

Namun, pelaksanaan pendidikan kewarganegaraan di Indonesia sempat mengalami kemunduran pada masa Orde Baru, di karenakan rezim penguasa saat itu sangat otoriter. Terbukti banyaknya penyalahgunaan kekuasaan serta meningkatnya korupsi di kalangan elit politik serta pelaku bisnis sejak masa Orde Baru hingga kini bsa menjadi fakta gagalnya pendidikan kewarganegaraan pada masa lalu.

Akibatnya, dalam menjalankan sitem demokrasi Indonesia banyak mengalami parmasalahan. Sehingga patut dipertanyakan cocok kah demokrasi diterapkan di Indonesia. Dan bagaimana perkembangan demokrasi Indonesia masa mendatang setelah kegagalan masa Orde Baru menjalankan system demokrasi.

B. Pembahasan

Ada dua alasan mengapa dipilihnya demokrasi. Pertama, hamper semua Negara di dunia ini telah menjadikan sebagai asas yang fundamental; Kedua, demokrasi sebagai asas kenegaraan yang secara esensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan Negara yangsebagai organisasi tertingginya, seperti yang dikatakan oleh Moh. Mahfud, Md. Pertanyaan sederhana yang patut dikemukakan berkaitan dengan kata “demokrasi” adalah apakah hakikat demokrasi itu?

Menurut beberapa ahli, pemahaman hakikat “demokrasi” terlebih dahulu diawali dengan pengertian demokrasi nilai yang terkandung di dalamnya. Secara bahasa demokrasi berasal dari dua suku kata bahasa Yunani yaitu “demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat, dan “cratein” atau “cratos” yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi ‘demos-cratos” (demokrasi) adalah kekuasaaan atau kedaulatan rakyat, kekuasaan tertinggi berada pada keputusan rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.

Sedangkan secara terminologis demokrasi adalah rakyat sebagai pemegang kekuasaan, pembuat dan penentu keputusan dan kebijakan tertinggi dalam penyelenggaran dan pemerintahan serta pengontrol terhadap pelaksanaan kebijakannya baik yang dilakukan secara langsung oleh rakyat atau mewakilinya melalui lembaga perwakilan.

Dari penjelasan tentang hakikat demokrasi di atas menimbulkan pertanyaan, kenapa Indonesia memilih demokrasi? Dan masih relevan kah demokrasi di Indonesia untuk masa mendatang?

Para peneliti sendiri terjadi pro kontra tentang demokrasi sebagai system yang baik. Lee kuan yew didepan The Philipine Chamber Of Commerce and Industry mengatakan ketidak setujuannya adanya demokrasi. Menurut dia, sikap yang diperlukan oleh sebuah Negara adalah sikap disiplin, lebih dari demokrasi, kegairahan kepada demokrasi justru membawa sikap tidak disiplin dan ketidaktertiban yang buruk bagi pembangunan. Test tertinggi system politik adalah kemampuannya membawa masyarakat meningkatkan standar hidup. Klimaks dari pandangannya, seperti direkam National Review 29 November 1993, Lee kuan yew menukik, bahwa system demokrasi gaya Amerika Serikatlah yang menyebabkan Filipina jatuh miskin seperti sekarang.

Dalam Journal Of Economic Perspective, Volume 7 summer 1993 Adam Prezeworski dan Fernando Limingo, mengumpulkan studi beberapa peniliti tentang hubungan demokrasi dan pertumbuhan ekonomi. Buku statistic menunjukkan tiga kategori korelasi antara demokrasi dan pertumbuhan ekonomi. Pertama, temuan yang mengatakan Negara yang otoritarin lebih baik buat pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain, demokrasi bersifat inferior. Peniliti yang menemukan ini antara lain Prezeworski (1966), dengan sempel 57 negara dalam rentang waktu 1949-1963. Adelman dan Morris (1967) sampai pada kesimpulan yang sama, dengan menliti 74 negara terbelakang termasuk blok komunis pada periode 1950-1964. Hongtington dan Dominguez (1975) juga berpendapat serupa setelah ia meniliti 35 negara miskin tahun 50-an. Kedua, temuan sebaliknya yang mengatakan justru demokrasi,dibanding sistem politik yang lain, yang lebih mendorong pertumbuhan ekonomi. Peneliti yang menemukannya, antara lain Dick (1974) yang mengamati 59 negara terkebelakng di tahun 1959-1968.

Ketiga, temuan yang netral yang mengatakan baik demokrasi atau sistem politik lain tidak berbeda secara signifikan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Peneliti itu antara lain Kohli (1986) yang mengamati sepuluh Negara terbelakang di tahun 1960-1982. Mars (1988) dengan jumlah sampel 47 negara di periode 1965-1984 menyatakan hal yang sama.

Bukti statistik di atas lebih objektif dan valid karena banyak melibatkan peneliti professional. Demokrasi mungkin menghambat, malah mendorong atau tidak berpengaruh sama sekali terhadap pertumbuhan ekonomi. Kesan buruk atas demokrasi akibat kasus pemiskinan Filipina dengan demikian kehilangan validitasnya.

Di kalangan sunni sendiri ada beberapa pandangan mengenai negara. Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, Rasyid Ridho, dan abdul A’la berpendapat bahwa penyelenggaraan Negara harus didasarkan pada ajaran Islam dan tidak boleh meniru-niru model pemerintahan Barat. Adapun Muhammad Husein Haikal, penulis Hayat Muhammad menolak anggapan adanya sitem pemerintahan dalam Islam. Menurutnya, Islam tidak mengajarkan bagaimana sistem pemerintahan, tetapi ia memberi nilai-nilai etika tentang bagaimana hidup dalam sebuah Negara.

Terlepas dari pro-kontra pantas tidaknya system demokrasi diterapkan di Indonesia. Pada era reformasi Indonesia mampu membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia memang pantas dan sanggup menjalankan sitem demokrasi. Terbukti bangsa Indonesia pernah mendapkan anugerah penghargaan bergengsi The Demokaracy Award , dari IAPAC (International Associaton Consultan). Penghargaan ini di berikan karena Indonesia telah menunjukkan komitmen dalam membangun dan melaksanakan demokrasi. Pemilu 1999 dan 2004 yang berjalan secara jujur, adil, dan aman menjadi alasan peraihan penghargaan tersebut.

Penghargaan ini merupakan pelengkap apresiasi internasional serupa yang sebelumnya pernah di raih. Tahun 2005 Indonesia mendapatkan penghargaan Freedom House yang telah menempatkan Indonesia sejajar dengan Negara-negara barat dalam berdemokrasi.

Rakyat Indonesia memang telah familiar dengan berbagai pesta demokrasi dan kebabasan berpendapat, namun mereka masih jauh dari rasa keadilan dan kesejahteraan. Kebijakan pemerintah yang pro rakyat amat minim. Sebaliknya berbagai bentuk penyelewengan, korupsi, permainan hukum, dan kenaikan harga mendorong masyarakat semakin miskin dan sengsara.

Namun ada satu hal yang samgat menarik dari penghargaan internasional tersebut yaitu pengakuan Indonesia sebagai demokratis karena peran masyarakatnya yang mayoritas muslim.

Keberhasilan Indonesia menjadi Negara demokratis tidak bias dilepaskan dari andil umat Islam. Selain pemberian suara dalm pemilu, umat Islam pun mampu berpatisipasi dalam politik secara aktif melalui saluran-saluran politik yang ada atau berkreasi mendirikan partai politik baru berbasis agamis atau nasionalis.

Keberhasilan umat Islam dalam menerapkan demokrasi ini tentu saja karena dukungan penuh lembaga civil society yaitu organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam seperti NU, Muhamadiyah dan yang lainnya. Peranan lembaga ini dalam mendukung demokrasi dapat dilihat dari putusan mereka yang tidak lagi mempermasalahkan dasar Negara. Perdebatan panjang yang dulu pernah memuncak di masa Orde lama kini telah di anggap selesai. Umat Islam menganggap subtansi ajaran Islam telah diakomodasi Negara.

Faktor terpenting dalam suksesnya system demokrasi di Indonesia adalah pembelajaran pendidikan kewarganegaraan yang terus mengalami kemajuan. Guna mendukung pemerintahan an yang berdemokrasi, pendidikan civic education telah mampu membuktikan peranannya mencerdaskan masyarakat tentang system pemerintahan yang di gunakan di Indonesia

C. Penutup

Dengan dukungan pemerintah yang tidak lagi otoriter, pendidinkan kewarganegaraan yang menjadi bahan pembelajaran di sekolah-sekolah sampai perguruan tinggi akhirnya bisa menunjukkan jati dirinya untuk ikut serta membangun masyarakat yang bermartabat menuju masyarkat madani

Pentingnya kesadaran masyarakat untuk ikut serta berperan aktif mendukung demokradi di Indonesia dengan cara tidak mensepelekan pendidikan kewarganegaraan sangat di perlukan, guna menjadikan pembelajaran mengenai hak-hak bernegara dan menentukan masa depan demokrasi Indonesia.

Pemilu di Indonesia bisa di jadikan cermin keberhasilan pendidikan kewarganegaraan terutama tentang kemajuan demokrasi. Partisipasi masyarakat pada pemilu masih tinggi,. Itu tandanya masih adanya dukungan publik pada demokrasi. Walaupun pada pemilu 2009 terdapat berbagai macam kekisruhan, bukan berarti budaya demokrasi telah luntur di mata masyarakat.

Demokrasi dipandang cocok untuk kultur budaya Indonesia yang sangat majmuk. Sumbangan budaya lokal turut mewarnai demokrasi Indonesia dan akan terus berkembang tanpa harus ada perpecahan

Demokrasi tidak bisa disalahkan, karena demokrasi yang kita banggakan ini sejatinya belum mencapai demokrasi yang mapan. Kita baru melewati tahap demokrasi prosedural, dan masih jauh dari tahap subtansial.

Semua sitem yang pernah dilaksanakan mempunyai objek yang sama. Yaitu : memajukan, membangun, dan ikut serta dalam menjaalnkan Negara Indonesia. Namun yang menjadi kendala sehingga mundurnya Negara,di karenakan roda dalam menjalankan sistem yang sedang di terapkan tidak secara maksimal. Maka ketika tidak terwujudnya keberhasilan sistem yang digunakan pasti menimbulkan hilangnya kredibilitas system tersebut.

Sikap kita sekarang yang perlu dilakukan adalah menjalankan sistem yang sedang berlangsung secara maksimal. Mungkin dengan menjalankan secara maksimal tidak perlu mencari-cari system lain yang malah akan memperlambat pembangunan Negara.

Akhirnya, optimisme memang harus tetap dipertahankan, tetapi persiapan matang dan ikhtiar maksimal adalah kebutuhan yang saat ini amat diperlakukan. Jika masa transisi ini bangsa Indonesia berhasil menjalankan demokrasi terutama pendidikan kewarganegaan dengan baik, maka jalan mewujudkan Negara yang bedaulat yang demokratis di masa mendatang akan terbuka lebar. Semoga dengan sistem demokrasi diiringi pendidikan kewarganegaraan bagi masyarakat akan selalu memersatukan bangsa Indonesia kedepan

Referensi

Basweddan, Annies, Menentukan Arah Demokratsi, di akses dari http://www.amadheryawan.com/opimi-media/sosial-politik/1644-masa-depan-demokrasi.html

Fathoni, Sulton, Islam Ahlus Sunah Wal jamaah di Indonesia, Jakarta, Pustaka Ma’arif NU, 2007

Fatoni, Uwes, Masa Depan Demokrasi Indonesia, diakses dari http://kewarganegaraan.wordpress.com/2007/11/19/masa-depan-demokrasi/indonesia.html

J.a, Deni, Demokrasi Indonesia Visi dan Praktek, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,2006

Najib, Muhammad, Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara, Jogjakarta:LKPSM,1996

Ubaidilah,Pendidikan Kewargaan dan Demokrasi Indonesia, diakses dari http://kompas.com/kompas-cetak/0401/16/opini/794093.htm

Ubaidilah,dkk, Pendidikan Kewargaan Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani,Jakarta, 2000

0 komentar