Filsafat Ibnu Thufail

A. Riwayat Hidup
Nama lengkap ibnu Thufail ialah Abu Bakar Muhammad ibnu Abd Al-Malik ibn Muhammad ibnu Muhammad ibnu Thufail. Ia dilahirkan di Guadix (Arab : Wadi Asy), provinsi Granada, Spanyol pada tahun 506 H/1110 M. Dam meninggal di kota marraqesh, Maroko pada 581 H (1185 M). Dalam bahasa latin ibnu Thufail populer dengan sebutan Abubacer.
Sebagai keturunan suku Qaisy, suku Arab terkemuka, ia dengan mudah mendapatkan fasilitas belajar, kecintaannya kepada buu-buku dan ilmu pengetahuan mengalahkan kecintaannya kepada sesame manusia. Hal ini mengantarkannya menjadi seorang ilmuan dalam banyak bidang , seperti kedokteran, kesusastraan, matematika, dan filsafat.
Profesi kedokteran dan keuletannya bekerja menyebabkan ia dipercaya menjadi sekertaris gubnur Granada, kemudian sekertaris gubenur Cuata, dan ahirnya sebagai dokter pribadi Abu Yusuf Ya’qub al-Manshur, khalifah Daulah Muwahiddin (1163-1184).
Pada masa khalifah Abu Yaquf Yusuf, Ibnu Thufail mempunyai pengaruh yang besar dalam pemerintahan. Pada pihak lain, khalifah sendiri mencintai ilmu pengetahuan dan secara khusus adalah peminat filsafat serta memberi kebebasan berfilsafat. Sikapnya itu menjadikan pemerintahannya sebagai pemuka pemikiran filosofis dan membuat Spanyol, seperti dikatakan R. Briffault sebagai “tempat kelahiran kembali negeri Eropa”
Kemudian ia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai dokter pemerintah pada tahun 578 H / 1182 M, dikarenakan usianya yang sudah uzur. Kedudukannya itu digantikan oleh Ibnu Rusd atas permintaan dari Ibnu Thufail. Tapi dia tetap mendapatkan penghargaan dari Abu Yaqub dan setelah dia meninggal pada tahun 581 H / 1185 M) di Marakesh (Maroko) dan dimakamkan disana, Al-Mansur sendiri hadir dalam upacara pemakamannya.
Dalam bidang filsafat , Ibnu Thufail dengn gigih menserasikan sains Yunani dengan hikmah Timur, atau antara filsafat dengan agama. Wujud konkret perpaduan ini tergambar dalam karyanya Hayy Ibn Yaqzan (hidup anak si sadar) yang judul lengkapnya Risalah Hayy ibn Yaqzhan fi Asrar Al Hikmah Al Mashiriqiyyah. Yang ditulis pada abad ke 6 Hijriah (abad ke-12 M).

B. Karyanya
Sebenarnya Ibnu Thufail lebih menggemari merenung daripada kecenderungan untuk menulis, karena itu tidak heran kalau hasil karyanya sedikit untuk generasi selanjutnya. Namun, beberapa buku biografi menyebutkan bahwa ia sempat menulis sejumlah buku dalam beberapa bidang: filsafat, fisilka, kejiwaan, dan kedokteran. Tetapi karangan tersebut hanya satu yang sampai kepada kita yaitu Hayy Ibn Yaqzan, yang merupakan intisari pemikiran-pemikiran Ibn Thufail.
Tetapi menurut Ibn Khathib ada dua buku tentang kedokteran yang dapat dikatakan merupakan karya Ibn Thufail, setidaknya ditulis oleh dua orang muzridnya yang dipersembahkan kepada Ibn Thufail, yaitu karya Al-Baithruji berjudul Kitab al-Hai’ah, dan karya Ibn Rusyd berjudul Fi al-Buqa’ al-Maskunah wa al-Ghair al-Maskunah
Sebagaimana telah disebutkan diatas, bahwa inti pemikiran Ibn Thufail termuat dalam karyanya Hayy Ibn Yaqzan. Berikut ringkasan cerita Hayy Ibn Yaqzan.
Seorang anak, yang ditinggalkan sendirian di suatu pulau, akhirnya ditemukan oleh seekor rusa yang kehilangan anaknya. Ketika umurnya semakin matang, timbul keinginannya yang luar biasa untuk mengetahui dan menyelidiki suatu yang tidak dimengertinya. Dia melihat bahwa binatang memiliki penutup tubuh alami dan alat pertahanan diri sehingga mampu menghadapi lingkungannya sedangkan dia sendiri tidak punya pakaian sebagai penutup tubuh dan juga tidak ada senjata untuk mempertahankan diri. Karena itu dia pertama-tama menutup tubuhnya dengan daun-daunan, kemudian dengan kulit binatang yang sudah mati serta menggunakan tongkat untuk pertahanan diri.
Secara berangsur-angsur dia juga mengenal akan kebutuhan-kebutuhan hidup lainnya. Dia menemukan api yang dianggapnya sebagai gejala kehidupan. Kemudian dia tahu akan manfaat bulu binatang, tahu cara bertenun, dan mampu membangun sebuah gubuk untuk tempat tinggalnya.
Rusa yang mengasuhnya, pengaruhnya semakin lemah, tua, dan akhirnya mati. Terhadap kejadian ini timbul keinginannya untuk mengetahui rahasia kematian. Maka tubuh binatang itu pun dibelahnya untuk mengetahui apa yang terdapat di dalamnya. Dari penyelidikiannya secara cermat diketahui bahwa penyebab kematian karena tidak berfungsinya jantung sehingga roh keluar dari tubuh. Karena itu kematian pada dasarnya karena tidak ada persatuan jiwa dengan tubuh, walaupun yang mati itu tubuhnya nampak masih utuh.
Dia meneruskan studinya dengan mempelajari tentang logam, tumbuh-tumbuhan, dan bebagai ragam jenis binatang. Dia juga dapat menirukan bunyi binatang yang ada disekitarnya.
Setelah itu dia mengarahkan perhatiannya pada fenomena angkasa dan keanekaragaman bentuk. Dalam keanekaragaman tersebut ternyata terdapat keseragaman yang pada hakekatnya adalah satu. Akhirnya dia berpendapat bahwa di belakang yang banyak itu terdapat asal yang satu, punya kekuatan tersembunyi, unik, suci, dan tak dapat dilihat. Inilah yang disebutnya penyebab pertama atau pencipta dunia ini.
Kemudian dia merenungkan tentang keadaan dirinya, caranya memperoleh pengetahuan sehingga akhirnya dia mendapat pengertian tentang makna substansi, komposisi, materi, bentuk, jiwa dan keabadian jiwa. Dia juga memperhatikan sungai yang mengalir dan menelusuri asal usul air tersebut. Dari situ diketahuinya bahwa pada dasarnya air tersebut berasal dari suatu sumber yang sama. Dia mengambil kesimpulan bahwa manusia pun asal usulnya adalah satu.
Perhatian selanjutnya ditujukan kepada langit, gerakan bintang, peredaran bulan, serta pengaruhnya pada dunia. Dari situ nampak adanya keindahan, ketertiban, dan tanda-tanda penciptaan.
Dalam hal tingkah lakunya terhadap lingkungannya, Hayy berusaha menghindari untuk membunuh binatang, memakan hanya buah yang masak dan menanam bijinya agar dapat tumbuh dengan baik. Dia juga memakan sayur-sayuran namun tidak makan daging binatang kecuali keadaan memaksa.
Dari pengamatan yang bersifat phisik yang mengunakan argumen logis dan eksperimen objektif dia beralih sebagai pencari Tuhan melalui perenungan rohani. Karena menurut dia alam semesta ini merupakan pencerminan Tuhan.
Dalam pencariannya tentang wujud Tuhan itu akhirnya dia berhasil yang dianggapnya itulah objek pengetahuan tertinggi. Tujuan akhir mencari kebenaran adalah dengan jalan pemusnahan diri atau penyerapan dalam Tuhan (fana) yang berujung pada kehidupan mistik. Namun dia tidak menyebut dirinya Tuhan karena Tuhan selalu membimbingnya ke jalan yang benar.
Di sebuah pulau yang lain, dekat dengan pulau dimana hayy bin yaqzan tinggal, terdapat penduduk yang memeluk agama dari nabi terdahulu. Namun pengetahuan mereka terhadap agama sangat dangkal dan tidak bersifat rohani. Namun terdapat dua orang, Asal dan Salaman, yang menonjol karena pemahamannya tentang agama. Salaman cenderung untuk memahami agama secara lahir sedangkan Asal lebih menyukai penghayatan secara ruhani. Karena itu Asal lebih suka menyepi untuk bermeditasi dan sembahyang dan bermaksud pindah ke pulau yang dikiranya tidak berpenghuni, dimana Hayy menetap. Walaupun pada awalnya mereka tidak saling mengenal tapi akhirnya terjadi suatu persahabatan yang akrab. Asal berhasil mengajar Hayy agar dapat berbicara sehingga terjadi tukar menukar pengetahuan diantra keduanya. Dari pertukaran pikiran itu diambil kesimpulan bahwa penyelidikan dan pengalaman mistik yang telah didapatkan dan dialami oleh hayy bin Yaqzan tidaklah terlalu berbeda dengan agama yang didapatkan Asal melalui kitab Suci yang disampaikan Nabi. Kemudian Hayy beriman kepada agama yang dipeluk Asal.
Asal juga menceritakan kepada Hayy bin Yaqzan tentang keadaan penduduk dan pelaksanaan mereka terhadap pelajaran agama dimana sebelumnya Asal tinggal. Hayy menunjukkan perhatiannya dan ingin mengajak penduduk itu menuju jalan yang benar seperti telah didapatkannya. Namun ada sedikit ganjalan dihati Hayy tentang agama yaitu mengapa Tuhan memberikan gambaran-gambaran antropomorfis tentang agama sehingga menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda dan apa perlunya ada ritual serta diberikannya kesempatan pada manusia untuk mencari kekayaan dan pemuasan kesengangan sehingga menimbulkan kesombongan.
Akhirnya Hayy dan Asal pergi ke pulau tersebut dan bertemu dengan Salaman. Dikemukakanlah maksud mereka berdua untuk memberikan pengajaran kepada penduduk berdasarkan apa yang telah mereka capai. Tapi ternyata baik Salaman maupun penduduknya kurang berminat terhadap penjelasan mereka yang cenderung bersifat ruhani dan mistik itu. Dari sini Hayy pun menjadi tambah yakin akan kebenaran Kitab Suci yang memberikan tamsil-tamsil dan gambaran yang masuk akal. Bagi yang berpikiran dangkal memang cocok dengan gambaran-gambaran Kitab Suci tersebut. Kemampuan mereka hanya dapat memahami hal-hal yang bersifat lahir saja. Karena itu Asal dan Hayy pun mohon pamit untuk kembali dengan pesan perpisahan agar penduduk di situ berpegang teguh kepada Syara’ dan menjalankan agamanya dengan baik.
Kebenaran keagamaan bagi orang awam bersifat harfiah dan eksternal sedangkan perenungan tentang kebenaran hanya bisa didapat oleh orang yang istimewa saja dan melalui proses pengalaman. Orang istimewa tersebut lebih unggul dari orang awam sehingga mereka lebih banyak mendapat karunia Tuhan.
C. Filsafatnya
Dari ringkasan isi cerita tersebut dan dari rumusan-rumusan dibalik cerita tersebut, sebenarnya Ibnu Thufail hendak mengemukakan kebenaran-kebeneran berikut ini seperti yang disimpulkan oleh Nadhim al-Jisr dalam buku Qissat al-Iman:
1. Urut-urutan tangga ma’rifat (pengetahuan) yang ditempuh oleh akal, dimulai dari obyek-obyek indrawi yang husus sampai kepada pikiran-pikiran universal
2. Tanpa pengajaran dan petunjuk, akal manusia bisa mengetahui wujud Tuhan, yaitu dengan melalui tanda-tandanya pada makhlukNya, dan menegakkan dalil-dalil atas wujudnya.
3. Akal manusia ini kadang-kadang mengalami ketumpulan dan ketidak mamapuan dalam mengemukakan dalil-dalil pikiran, yaitu ketika hendak menggambarkan ke-azalian mutlak, zaman, qadim, hudus, dan hal-hal lain yang sejenis dengan itu.
4. Apa yang disyariatkan agama Islam, dan apa yang diketahui oleh akal yang sehat dengan sendirinya, berupa kebenaran, kebaikan, dan keindahan dapat bertemu kedua-duanya dalam satu titik tanpa diperselisihkan lagi.
5. Pokok dari semua hikmah adalah apa yang telah ditetapkan oleh Syara’, yaitu mengarahkan pembicaraan kepada orang lain menurut kesanggupan akalnya, tanpa membuka kebenaran rahasia-rahasia filsafat kepada mereka.
Ibnu Thufail dalam kisahnya itu juga membuktikan tentang tidak adanya perlawanan antara filsafat dan ilmu pengetahuan dengan agama. Semuanya adalah sama dan sesuai satu sama lain.

0 komentar