Filsafat Yahudi

Orang-orang Yahudi sebelum kedatangan Islam tidak memiliki filsafat rasional. Di dalam Taurat tidak terdapat benih-benih pemahaman filafat maupun metafisika yang memungkinkan untuk dipaparkan. Agama Yahudi dan kitab-kitab sucinya merupakan pemberitahuan mengenai doktrin agama saja tanpa ada pandangan rasional. Memang doktrin agama tersebut berisi ma'rifat kepada Allah dan tuntutan agar orang Yahudi memberitahukan ma'rifat ini kepada bangsa-bangsa selain mereka, akan tetapi orang-orang Yahudi meyakini bahwa wahyu itu khusus hanya untuk mereka dan ma'rifat kepada Allah terbatas hanya untuk mereka. Mereka adalah anak-anak Israel, sedangkan bangsa-bangsa selain mereka menjadi budak anak-anak Israel. Mereka merasa selamanya tidak butuh pandangan rasional maupun pemikiran falsafi.[1]
Pada abad ke dua SM. Terdapat sekitar 1 juta orang Yahudi di Mesir. Mereka dapat digolongkan dalam tiga golongan:

a) Mereka yang setia pada ajaran nenek moyang mereka dan menantikan Mesias.

b) Mereka yang mengikuti aliran Ortodoks.

c) Mereka yang berusaha mengawinkan agama Yahudi dengan filsafat Helenis.

Pda abad inilah mulai terjadi proses Helenisasi kebudayaan Yahudi.[2]

Tokoh terbesar dari filsafat Yahudi adalah , Philo (±30 SM – 50 M). Ia dilahirkan di Aleksandria dari keluarga iamam. Segala kmampuannya dipakai guna menyesuaikan agama Yahudi dengan Filsafat Helenisme.

Agama Yahudi digarapnya begitu rupa, sehingga cocok untuk di sintesakan dengan filsafa Yunani. Menurut dia kitab Perjanjian Lama (Kitab agama Yahudi), bahkan juga terjemahannya di dalam kitab Yunani ( Kitab Septuaginta) diwahyukan oleh Tuhan dengan para nabi sebagai alat-alatNya. Akan tetapi orang bijak Yunani Jga mendapat hikmah yang sama dengan para nabi

Selanjutnya kitab Perjanjian Lama juga ditafsirkan secara alleoris atau secara kiasan. Ia membedakan antara tafsiran yang lahiriah dengan tafsiran yang batiniah. tafsiran lahiriah adalah tafsiran yang harafiah. Tafsiran ini disukai oleh orang yang dangkal ilmunya, oleh karenanya harus di tolak. Tafsiran ini jikalau ditarik secara konsekuen akan sampai pada hal-hal yang tidk mungkin. Hal ini disebabkan Karena secara lahiriah Kitab Perjanjian Lama sendiri telah mengandung gambaran-gambaran yang salah. Tafsiran yang baik adalah tafsiran batiniah, yang bersifat rohani, dan mencari arti kiasan segala hal yang terdapat dalam kitab suci.

Karena tafsirannya yang demikian itu ia sampai kepada ajaran yang demikian:

Allah adalah roh yang transenden, yang tidak di dalam dunia ini, melainkan disebrang sana. Negatip tentang Allah dapat dikatakan, bahwa ia tidak dijadikan, tidak mempunyai sifat-sifat manusiawi, tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, tidak berwujud. Hakekatnya tidak dapat dikatakan bagaimana, sebab ia tidak bernama. Manusia hanya tau, bahwa Allah ada, akan teitapi manusia tidak dapat tau apakah Dia itu. Sebab Allah tidak dapat di uraikan bagaimana. Ia adalah Sang Ada (Ho On). Sekalipun demikian menurut Philo, sedikit manusia dapat juga menguaikan Allah secara positip. Tidak disangkal, bahwa penguraian tentang Allah ini dipengarui oleh Plato.

Ada perbedan yang mutlak antara Allah dan dunia, sebab Allah adala roh, sedang dunia adalah benda. Keduanya tidak bisa dipersatukan. Oleh karena itu diperlukan tokoh-tokoh pengantara. Tokoh tokoh ini dapat disebut dengan bermacam-macam sebutan, yaitu: idea-idea, atau gagasan-gagasan yang yang dipakai sebagai pola dalam menciptakan dunia; kekuatan-kekuatan ilahi, yang bekerja di dalam dunia; malaikat-malaikat yaitu para utusan Allah yang melaksanakan kehendakNya. Semuanya itu dipersatukan di dalam istilah Logos, pengantara Allah dan dunia. Logos adalah idea dari segala idea, yang juga disebut kebijaksanaan, kekuatan dunia yang universal, yang juga disebut kebijaksanaan, kekuatan dunia yang universal. Sekalipun demikian Logos ini bukanlah Allah, bukan mahluk, bukan tidak di jadikan, dan bukan di jadikan seperti para mahluk.

Mengenai dunia diajarkan, bahwa dunia bukan di jadikan, teapi di bentuk oleh Logos. Pembentukan itu terjadi demikian, bahwa kekuatan Logos memasuki benda, mengenakan benda sebagai pakaiannya, sehingga benda dapat dibentuk menjadi dunia yang menurut gambar dan rupaNya sendiri.[3]

Dalam ajarannya tentang manusia, Philo mengajarkan bahwa dalam strukturnya manusia adalah gambar alam semesta. Tetapi sebagai idea, yaitu manusia yang tidak bertubuh, manusia telah ada sejak kekal di dalam Logos. Jiwa manusia tersusun dari jiwa sebagai kekuatan hidup dan jiwa yang bersifat akali. Jiwa tidak dapat binasa. Jiwa memasuki tubuh dari luar dan terbelenggu dalam tubuh. Kematian mewujudkan suatu, dimana orang dibangkaitkan dalam hidup yang sejati dan dalam kebebasan.

Menurut Philo, ada tiga tingkatan kebijakan, yaitu:

1) Apathea, yaitu keadaan tanpa perasaan, dimana orang melepaskan diri dari segala hawa nafsu dan segala yang bersifat badani.

2) Kebijaksanaan, yaitu karunia Ilahi, yang di arahkan kepada kesusilaan atau kesalehan.

3) ekstase, yaitu meleburkan diri dalam yang Ilahi.[4]

Orang Yahudi sangat sadar tentang keterbatasan anusia itu sendiri. Dibandingkan dengan kemuliaan surgawi, manusia “adalah debu” (Maz.103:14). Dibandingkan dengan kekuatan-kekuatan alam yang mengelilinginya, ia amat lemah. Bahkan saat manusia sangat bangga akan dirinya ia dihantui oleh kesadaran akan kekurangannya, ia lemah sebagai “sesuatu yang hancur” (Ay.4:19) Namun hiupnya dimuka bumi ini sangt singkat. Ibarat rumput yang tumbuh dan berbunga di waktu pagi, “di waktu sore ia di babat dan layu”(Maz.90:9). Tidak hanya sekali, tetapi berulang-ulang orang Yahudi terpaksa mengajukan pertanyaan yang bersifat retoris ini: “Apakah manusia itu sehingga Tuhan sendiri perlu mengingatnya?”(Maz.8:4)[5]

Demikianlah cara Philo menagwinkan agama Yahudi dengan filsafat Helenisme. Ajarannya yang mengenai Allah berbeda sekali dengan ajaran kitab suci agama Yahudi. Oleh Philo Allah digambarkan sebagai tidak dapat dikenal secara mutlak, sehingga Ia sama sekali tidak dapat dikatakan bagaimana . Juga Allah di gambarkan sebagai tansenden dalam arti “yang bersemayam jauh diatas segala sesuatu” Allah yang demikian dipandang tidak layak untuk secara langsung menciptakan dunia. Oleh karena itulah Ia memakai pengantara, pengantara, yang dapat disebut Idea-idea, sehingga tampaklah pengruh Plato.

Daftar Pustaka

Anhari, A Maskur, Filsafat Sejarah dan Perkrmbangannya dari Abad ke Abad,CV Karya:Jakarta, 1992.

Hadiwijono,Harun, Sari Sejarah Filsafat 1, Kanisius:Yogyakarta.

Smith, Huston,Agama-Agama Manusia,Yayasan Obor Indonesia:jakarta,cet ke-7, 2004.

http://gedublaks.multiply.com/journal/item/18/TRADISI_FILSAFAT_YAHUDI_DALAM_DUNIA_KEBUDAYAAN_ISLAM

[1] http://gedublaks.multiply.com/journal/item/18/TRADISI_FILSAFAT_YAHUDI_DALAM_DUNIA_KEBUDAYAAN_ISLAM

[2] A.Maskur Anhari, Filsafat Sejarah dan Perkrmbangannya dari Abad ke Abad,CV Karya:Jakarta, 1992, hlm 133

[3][3] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat 1, Kanisius:Yogyakarta, hlm63.

[4] Opcit, A Masjkur Anshari, hlm134

[5] Huston Smith, Agama-Agama Manusia,Yayasan Obor Indonesia:jakarta,cet ke 7 2004, hlm309

0 komentar