A. Pendahuluan
Muhammad Arkoun, seorang ilmuan dari prancis mengatakan ”Al-Qur’an memberikan kemungkinan arti yang tak terbatas. Ayat-ayatnya selalu terbuka untuk interpretasi baru; tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal”
dalam menjelaskan Al-Qur’an. Sepanjang zaman Al-Qur’an akan selalu mengalami perkembangan penafsiran (interpretasi baru) sesuai background sang penafsir. Pendapat Muhammad Arkoun di atas, dapat kita buktikan dalam salah satu kajian Ulu>mul Qur’a>n, yaitu tentang muh}kam dan mutasya>bih. Sebuah kajian yang sering menimbulkan kontroversial sepanjang sejarah penafsiran Al-Qur’an, karena perbedaan ’interpretasi’ antara ulama mengenai hakikat muh}kam dan mutasya>bih.
Dalam Al-Qur’an, memang disebutkan kata-kata muh}kam dan mutasya>bih. Pertama, lafal muh}kam , terdapat dalam Q.S. Hu>d [11]: 1
كِتبٌ اُحْكِمَتْ ايتُـه....
Terjemahan: Sebuah Kitab yang disempurnakan (dijelaskan) ayat-ayatnya....
Kedua, lafal mutasya>bih terdapat dalam Q.S. Zumar [39]: 23
...كِتَابًا مُتَشَـابِهًا مَّـثَانِيْ....
Terjemahan : …(yaitu) Al-Qur’an yang serupa (mutasya>bih) lagi berulang-ulang....
Ketiga, lafal muh}kam dan mutasya>bih sama-sama disebutkan dalam Al-Qur’an. Hal ini terdapat pada Q.S. A>li Imra>n [3]: 7:
هُوَ الَّذِيْ اَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتبَ مِنْهُ ايتٌ مُحْكَمتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتبِ و اُخَرُ مُتَشبِهتٌ فَاَمَّا الَّذِيْنَ
فِى قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشبَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَـةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيْلِـه وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَه اِلاَّ الله ُ وَالرَّاسِخُوْنَ فىِ الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ امَنَّا بِه كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا…
Terjemahan:
Dialah yang telah menurunkan Al-Qur’an kepadamu, diantaranya ada ayat-ayat muh}kama>t yang merupakan induk dan lainnya mutasya>biha>t. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasya>biha>t untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari ta’wilnya1 padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang yang mendalam ilmunya berkata,”Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasya>bihat semuanya itu dari sisi Tuhan kami”...
Berdasarkan tiga ayat tersebut, Ibn Habib al-Naisaburi menceritakan adanya tiga pendapat tentang masalah ini. Pertama berpendapat bahwa Al-Qur’an seluruhnya muh}kam berdasarkan ayat pertama. Kedua berpendapat bahwa Al-Qur’an seluruhnya mutasya>bih berdasarkan ayat kedua. Ketiga berpendapat bahwa sebagian ayat Al-Qur’an muh}kam dan lainnya mutasya>bih berdasarkan ayat ketiga. Inilah pendapat yang sahih. Ayat pertama, dimaksudkan dengan muh}kam-nya Al-Qur’an adalah kesempurnaan dan tidak adanya pertentangan antara ayat-ayatnya. Maksud mutasya>bih dalam ayat kedua adalah menjelaskan segi kesamaan ayat-ayat Al-Qur’an dalam kebenaran, kebaikan dan kemukjizatannya.2
Dalam makalah ini, akan dibahas pendapat-pendapat para ulama ahli tafsir mengenai hakikat ayat muh}kam dan mutasya>bih dalam Al-Qur’an.
B. Pembahasan
1. Makna Muh}kam dan Mutasya>bih
a. Makna secara Lugawi> (bahasa)
Muh}kam secara etimologi berasal dari kata ihkam yang menurut Al-zarqani mempunyai beberapa konotasi, namun mengacu pada satu pengertian yaitu almana’ yang artinya ahkamul amr ”yang membuat sesuatu menjadi kokoh dan tercegah dari kerusakan.
Secara lugawi> muhkam juga bermakna حكمت الدابة واحكمت artinya saya menahan binatang itu. Kata al-hukm berarti memutuskan antara dua perkara. Dikatakan حكمت السفية وأحكمتهartinya saya memegang kedua tangan orang yang dungu. Dari kata inilah lahir kata hikmah, karena ia dapat mencegah pemiliknya dari hal-hal yang tidak pantas.
Sedangkan Mutasya>bih secara lugawi> berarti tasyabuh, yakni bila salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain. Syubhah ialah keadaan di mana satu dari dua hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain karena adanya kemiripan di antara keduanya secara konkrit atau abstrak
b. Makna secara Istilah
Banyak sekali pendapat para ulama tentang pengertian muh}kam dan mutasya>bih, salah satunya al-Zarqani. Di antara definisi yang diberikan Zarqani adalah sebagai berikut:
1). Muh}kam ialah ayat-ayat yang jelas maksudnya lagi nyata yang tidak mengandung kemungkinan nasakh. Mutasya>bih ialah ayat yang tersembunyi (maknanya), tidak diketahui maknanya baik secara aqli maupun naqli, dan inilah ayat-ayat yang hanya Allah mengetahuinya, seperti datangnya hari kiamat, huruf-huruf yang terputus-putus di awal surat (fawa>tih} al-s}uwa>r). Pendapat ini dibangsakan al-Lusi kepada pemimpin-pemimpin mazhab Hanafi.
2). Muh}kam ialah ayat-ayat yang diketahui maksudnya, baik secara nyata maupun melalui takwil. Mutasya>bih ialah ayat-ayat yang hanya Allah yang mengetahui maksudnya, seperti datang hari kiamat, keluarnya dajjal, huruf-huruf yang terputus-putus di awal-awal surat (fawa>tih} al-s}uwa>r) pendapat ini dibangsakan kepada ahli sunah sebagai pendapat yang terpilih di kalangan mereka.
3). Muh}kam ialah ayat-ayat yang tidak mengandung kecuali satu kemungkinan makna takwil. Mutasya>bih ialah ayat-ayat yang mengandung banyak kemungkinan makna takwil. Pendapat ini dibangsakan kepada Ibnu Abbas dan kebanyakan ahli ushul fikih mengikutinya.
4). Muh}kam ialah ayat yang berdiri sendiri dan tidak memerlukan keterangan. Mutasya>bih ialah ayat yang tidak berdiri sendiri, tetapi memerlukan keterangan tertentu dan kali yang lain diterangkan dengan ayat atau keterangan yang lain pula karena terjadinya perbedaan dalam menakwilnya. Pendapat ini diceritakan dari Imam Ahmad. r.a.
5). Muh}kam ialah ayat yang seksama susunan dan urutannya yang membawa kepada kebangkitan makna yang tepat tanpa pertentangan. Mutasya>bih ialah ayat yang makna seharusnya tidak terjangkau dari segi bahasa kecuali bila ada bersamanya indikasi atau melalui konteksnya. Lafal musytarak masuk ke dalam mutasya>bih menurut pengertian ini. Pendapat ini dibangsakan kepada Imam Al-Haramain.
6). Muh}kam ialah ayat yang jelas maknanya dan tidak masuk kepadanya isykal (kepelikan). Mutasya>bih ialah lawannya muh}kam atas ism-ism (kata-kata benda) musytarak dan lafal-lafalnya mubhamah (samar-samar). Ini adalah pendapat al-Thibi.
7). Muh}kam ialah ayat yang ditunjukkan makna kuat, yaitu lafal nash dan lafal z}a>hir. Mutasy>abih ialah ayat yang ditunjukkan maknanya tidak kuat, yaitu lafal mujmal, muawwal, dan musykil. Pendapat ini dibangsakan kepada Imam al-Razi dan banyak peneliti yang memilihnya.
Subhi ash-Shalih merangkum pendapat ulama dan menyimpulkan bahwa muh}kam adalah ayat-ayat yang bermakna jelas. Sedangkan muta>syabih adalah ayat yang maknanya tidak jelas, dan untuk memastikan pengertiannya tidak ditemukan dalil yang kuat.
2. Kriteria Ayat-ayat Muh}kama>t dan Mutasya>biha>t
Perbedaan pengertian muh}kam dan mutasya>bih yang telah disampaikan para ulama di atas, nampak tidak ada kesepakatan yang jelas antara pendapat mereka tentang muh}kam dan mutasya>bih, sehingga hal ini terasa menyulitkan untuk membuat sebuah kriteria ayat yang termasuk muh}kam dan mutasya>bih.
J.M.S Baljon, mengutip pendapat Zamakhsari yang berpendapat bahwa termasuk kriteria ayat-ayat muh}kama>t adalah apabila ayat-ayat tersebut berhubungan dengan hakikat (kenyataan), sedangkan ayat-ayat mutasya>biha>t adalah ayat-ayat yang menuntut penelitian (tahqiqat).
Ali Ibnu Abi Thalhah memberikan kriteria ayat-ayat muh}kama>t sebagai berikut, yakni ayat-ayat yang membatalkan ayat-ayat lain, ayat-ayat yang menghalalkan, ayat-ayat yang mengharamkan, ayat-ayat yang mengandung kewajiban, ayat-ayat yang harus diimani dan diamalkan. Sedangkan ayat-ayat mutasya>biha>t adalah ayat-ayat yang telah dibatalkan, ayat-ayat yang dipertukarkan antara yang dahulu dan yang kemudian, ayat-ayat yang berisi beberapa variabel, ayat-ayat yang mengandung sumpah, ayat-ayat yang boleh diimani dan tidak boleh diamalkan.
Ar-Raghib al-Ashfihani memberikan kreteria ayat-ayat mutasya>biha>t sebagai ayat atau lafal yang tidak diketahui hakikat maknanya, seperti tibanya hari kiamat, ayat-ayat Al-Qur’an yang hanya bisa diketahui maknanya dengan sarana bantu, baik dengan ayat-ayat muh}kama>t, hadis-hadis sahih maupun ilmu penegtahuan, seperti ayat-ayat yang lafalnya terlihat aneh dan hukum-hukumnya tertutup, ayat-ayat yang maknanya hanya bisa diketahui oleh orang-orang yang dalam ilmunya. Sebagaimana diisyaratkan dalam doa Rasulullah untuk Ibnu Abbas, Ya Allah, karuniailah ia ilmu yang mendalam mengenai agama dan limpahankanlah pengetahuan tentang ta’wil kepadanya.
Muh}kam menyangkut soal hukum-hukum (fara>id}), janji, dan ancaman, sedangkan mutasya>bih mengenai kisah-kisah dan perumpamaan.
3. Sebab-sebab terjadinya Tasyabuh dalam Al-Qur’an.
Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i meringkas ada 3 sebab terjadinya tasyabuh dalam Al-Qur’an.
a. Disebabkan oleh ketersembunyian pada lafal
Contoh: Q.S. Abasa [80]: 31
وَفَاكِهَةً وَأَبًّا
Terjemahan: Dan buah-buahan serta rumput-rumputan.
Lafal أَبٌّ di sini mutasya>bih karena ganjilnya dan jarangnya digunakan. kata أَبٌّ diartikan rumput-rumputan berdasarkan pemahaman dari ayat berikutnya :
Q.S. Abasa [80]: 32 yang berbunyi:
مَتَاعًا لَكُمْ وَلأَنْعَامِكُمْ
Terjemahan: Untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu.
Ar-Raghib al-Asfhani membagi mutasya>biha>t dari segi lafal menjadi dua, yaitu mufrad dan murakkab. Mutasya>bih lafal mufrad adalah tinjauan dari segi kegaribannya, seperti kata yaziffu>n, al-abu; Isytirak, seperti kata al-yadu, al-yami>n.
Tinjauan lafal murakkab berfaedah untuk meringkas kalam, seperti: wa in khiftum alla> tuqsit}u> fil yata>ma> fankhihu> ma> t}a>ba lakum...., untuk meluruskan kalam, seperti: laisa kamis|lihi> syai’un, untuk mengatur kalam, seperti: anzala ‘ala> ‘abdihil kita>ba walam yaj’al lahu> ‘iwaja>..
b. Disebabkan oleh ketersembunyian pada makna
Terdapat pada ayat-ayat mutasya>biha>t tentang sifat-sifat Allah swt. dan berita gaib.
Contoh: Q.S. al-Fath} [48]: 10.
...يَدُ اللهِ فَوْقَ اَيْدِيْهِمْ….
Terjemahan: ...tangan Allah di atas tangan mereka....
c. Disebabkan oleh ketersembunyian pada makna dan lafal
Ditinjau dari segi kalimat, seperti umum dan khusus, misalnya uqtulul musyriki>na, dari segi cara, seperti wujub dan nadb, misalnya, fankhih>u ma> t}a>ba lakum minan nisa>, dari segi waktu, seperti nasikh dan mansukh, misalnya, ittaqulla>h haqqa tuqa>tihi, dari segi tempat dan hal-hal lain yang turun di sana, atau dengan kata lain, hal-hal yang berkaitan dengan adat-istiadat jahiliyah, dan yang dahulu dilakukan bangsa Arab. Seperti, laisal birru bian ta’tul buyu>ta min z}uhuriha>, segi syarat-syarat yang mengesahkan dan membatalkan suatu perbuatan, seperti syarat-syarat salat dan nikah.
4. Pembagian ayat-ayat Mutasya>biha>t dalam Al-Qur’an
al-Zarqani membagi ayat-ayat mutasya>biha>t menjadi tiga macam :
a. Ayat-ayat yang seluruh manusia tidak dapat sampai kepada maksudnya, seperti pengetahuan tentang zat Allah dan hakikat sifat-sifat-Nya, pengetahuan tentang waktu kiamat dan hal-hal gaib lainnya. Allah berfirman Q.S. al-An’am [6]: 59
وَعِنْدَه مَفَـاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُـهُا اِلاَّ هُوَ....
Terjemahan : Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri....
b. Ayat-ayat yang setiap orang bisa mengetahui maksudnya melalui penelitian dan pengkajian, seperti ayat-ayat mutasya>bih>at yang kesamarannya timbul akibat ringkas, panjang, urutan, dan seumpamanya. Allah berfirman Q.S. an-Nisa’[4]: 3
وَاِنْ خِفْـتُمْ اَلاَّ تُقْسِطُوْا فِى الْيَتمى فَانْكِحُوْا مَاطَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ....
Terjemahan: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim, Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi....
Maksud ayat ini tidak jelas dan ketidak jelasanya timbul karena lafalnya yang ringkas. Kalimat asal berbunyi :
وَاِنْ خَفْـتُمْ اَنْ لاَ تُقْسِطُوْا فِى اليَتمى اِذَا تَـزَوَّجْـتُمْ بِهِنَّ فَانْكِحُوْا مَاطَابَ
لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ....
Terjemahan: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim sekiranya kamu kawini mereka, maka kawinilah wanita-wanita selain mereka.
c. Ayat-ayat mutasya>biha>t yang maksudnya dapat diketahui oleh para ulama tertentu dan bukan semua ulama.
Inilah yang diisyaratkan Nabi dengan doanya bagi Ibnu Abbas:
اَللَّهُمَّ فَقِّهْـهُ فِى الدِّيْنِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيْلَ
Terjemahan: Ya Tuhanku, jadikanlah dia seorang yang paham dalam Agama, dan ajarkanlah kepadanya takwil.
5. Sikap Ulama Menghadapi Ayat-ayat Mutasya>biha>t
Dalam Al-Qur’an sering kita temui ayat-ayat mutasya>biha>t yang menjelaskan tentang sifat-sifat Allah. Contohnya Surah ar-Rahman [55]: 27:
وَيَبْقى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلاَلِ وَالأِكْرَامِ
Terjemahan: Dan kekallah wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.
Atau dalam Q.S. Ta>ha> [20]: 5 Allah berfirman :
الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْـتَوى
Terjemahan: (yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas 'Arsy.
Dalam hal ini, Subhi al-Shalih membedakan pendapat ulama ke dalam dua mazhab. :
a. Mazhab Salaf, yaitu orang-orang yang mempercayai dan mengimani sifat-sifat mutasya>bih itu dan menyerahkan hakikatnya kepada Allah sendiri. Mereka mensucikan Allah dari pengertian-pengertian lahir yang mustahil ini bagi Allah dan mengimaninya sebagaimana yang diterangkan Al-Qur’an serta menyerahkan urusan mengetahui hakikatnya kepada Allah sendiri. Karena mereka menyerahkan urusan mengetahui hakikat maksud ayat-ayat ini kepada Allah, mereka disebut pula mazhab Mufawwidah atau Tafwid. Ketika Imam Malik ditanya tentang makna istiwa`, dia berkata:
الاِسْتِوَاءُ مَعْلُوْمٌ وَالْكَيْفُ مَجْهُوْلٌ وَالسُّؤَالُ عَنْـهُ بِدْعَةٌ وَ اَظُـنُّـكَ رَجُلَ السُّوْءَ
اَخْرِجُوْهُ عَنِّيْ.
Terjemahan: Istiwa` itu maklum, caranya tidak diketahui (majhul), mempertanyakannya bid’ah (mengada-ada), saya duga engkau ini orang jahat. Keluarkan olehmu orang ini dari majlis saya.
Maksudnya, makna lahir dari kata istiwa jelas diketahui oleh setiap orang. akan tetapi, pengertian yang demikian secara pasti bukan dimaksudkan oleh ayat. sebab, pengertian yang demikian membawa kepada asyabih (penyerupaan Tuhan dengan sesuatu) yang mustahil bagi Allah. karena itu, bagaimana cara istiwa’ di sini Allah tidak di ketahui. selanjutnya, mempertanyakannya untuk mengetahui maksud yang sebenarnya menurut syari’at dipandang bid’ah (mengada-ada).
Kesahihan mazhab ini juga didukung oleh riwayat tentang qira’at Ibnu Abbas.
وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَـهُ اِلاَّ الله ُ وَيُقُوْلُ الرَّاسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ امَـنَّا بِه
Terjemahan: Dan tidak mengetahui takwilnya kecuali Allah dan berkata orang-orang yang mendalam ilmunya, ”kami mempercayai”. (dikeluarkan oleh Abd. al-Razzaq dalam tafsirnya dari al-Hakim dalam mustadraknya).
b. Mazhab Khalaf, yaitu ulama yang menkwilkan lafal yang makna lahirnya mustahil kepada makna yang laik dengan zat Allah, karena itu mereka disebut pula Muawwilah atau Mazhab Takwil. Mereka memaknai istiwa` dengan ketinggian yang abstrak, berupa pengendalian Allah terhadap alam ini tanpa merasa kepayahan. Kedatangan Allah diartikan dengan kedatangan perintahnya, Allah berada di atas hamba-Nya dengan Allah Maha Tinggi, bukan berada di suatu tempat, “sisi” Allah dengan hak Allah, “wajah” dengan zat “mata” dengan pengawasan, “tangan” dengan kekuasaan, dan “diri” dengan siksa. Demikian sistem penafsiran ayat-ayat mutasya>biha>t yang ditempuh oleh ulama Khalaf.
Alasan mereka berani menafsirkan ayat-ayat mutasya>biha>t, menurut mereka, suatu hal yang harus dilakukan adalah memalngkan lafal dari keadaan kehampaan yang mengakibatkan kebingungan manusia karena membiarkan lafal terlantar tak bermakna. Selama mungkin mentakwil kalam Allah dengan makna yang benar, maka nalar mengharuskan untuk melakukannya.
Kelompok ini, selain didukung oleh argumen aqli (akal), mereka juga mengemukakan dalil naqli berupa atsar sahabat, salah satunya adalah hadis riwayat Ibnu al-Mundzir yang berbunyi:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ :(وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهُ اِلاَّ اللهُ وَ الرَّاسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ) قَالَ: اَنَـا
مِمَّنْ يَعْلَمُوْنَ تَـأْوِيْـلَهُ.(رواه ابن المنذر)
Terjemahan: “dari Ibnu Abbas tentang firman Allah: : Dan tidak mengetahui takwilnya kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya”. Berkata Ibnu Abbas:”saya adalah di antara orang yang mengetahui takwilnya.(H.R. Ibnu al-Mundzir)
Disamping dua mazhab di atas, ternyata menurut as-Suyuti bahwa Ibnu Daqiq al-Id mengemukakan pendapat yang menengahi kedua mazhab di atas. Ibnu Daqiqi al-Id berpendapat bahwa jika takwil itu jauh maka kita tawaqquf (tidak memutuskan). Kita menyakini maknanya menurut cara yang dimaksudkan serta mensucikan Tuhan dari semua yang tidak laik bagi-Nya.
Adapun penulis makalah ini sendiri lebih sepakat dengan mazhab kedua, mazhab khalaf. Karena pendapat mazhab khalaf lebih dapat memenuhi tuntutan kebutuhan intelektual yang semakin hari semakin berkembang, dengan syarat penakwilan harus di lakukan oleh orang-orang yang benar-benar tahu isi Al-Qur’an, atau dalam bahasa Al-Qur’an adalah ar-ra>sikhu>na fil ‘ilmi dan dikuatkan oleh doa nabi kepada Ibnu Abbas.
Sejalan dengan ini, para ulama menyebutkan bahwa mazhab salaf dikatakan lebih aman karena tidak dikhawatirkan jatuh ke dalam penafsiran dan penakwilan yang menurut Tuhan salah. Mazhab khalaf dikatakan lebih selamat karena dapat mempertahankan pendapatnya dengan argumen aqli.
6. Hikmah dan Nilai-nilai Pendidikan dalam ayat-ayat Muh}kam dan Mutasya>bih
Ada pepatah yang mengatakan, khudil h}ikmata min ayyi wi’a>in kharajat, ambillah hikmah dari manapun keluar. Begitu pun dalam masalah muh}kam dan mutasya>bih. Muhammad Chirzin menyimpulkan setidaknya ada tiga hikmah yang dapat kita ambil dari persoalan muh}kam dan mutasya>bih tersebut, hikmah-hikmah itu adalah:
a. Andaiakata seluruh ayat Al-Qur’an terdiri dari ayat-ayat muh}kama>t, niscaya akan sirnalah ujian keimanan dan amal lantaran pengertian ayat yang jelas.
b. Seandainya seluruh ayat Al-Qur’an mutasya>biha>t, niscaya akan lenyaplah kedudukannya sebagai penjelas dan petunjuk bagi manusia orang yang benar keimanannya yakin bahwa Al-Qur’an seluruhnya dari sis Allah, segala yang datang dari sisi Allah pasti hak dan tidak mungkin bercampur dengan kebatilan.
لاَ يَأْتِيْهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلاَ مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيْلٌ مِنْ حَكَيْمٍ حَمِيْدٍ
Terjemahan: Tidak akan datang kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan, baik dari depan maupun dari belakang, yang diturunkan dari Tuhan yang Maha Bijaksana lagi Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. (Q.S. Fus}s}ilat [41]: 42)
c. Al-Qur’an yang berisi ayat-ayat muh}kama>t dan ayat-ayat mutasya>biha>t, menjadi motivasi bagi umat Islam untuk teus menerus menggali berbagai kandungannya sehingga mereka akan terhindar dari taklid, bersedia membaca Al-Qur’an dengan khusyu’ sambil merenung dan berpikir.
Menurut Yusuf Qardhawi, adanya muh}kam dan mutasya>bih sebenarnya merupakan ke-mahabijaksanaan-Nya Allah, bahwa Al-Qur’an ditujukan kepada semua kalangan, karena bagi orang yang mengetahui berbagai tabiat manusia, di antara mereka ada yang senang terhadap bentuk lahiriyah dan telah merasa cukup dengan bentuk literal suatu nash. Ada yang memberikan perhatian kepada spritualitas suatu nash, dan tidak merasa cukup dengan bentuk lahiriyahnya saja, sehingga ada orang yang menyerahkan diri kepada Allah dan ada orang yang melakukan pentakwilan, ada manusia intelek dan manusia spiritual.
Kalau hikmah ini kita kaitkan dengan dunia pendidikan, setidaknya Allah telah mengajarkan ”ajaran” muh}kam dan mutasya>bih kepada manusia agar kita mengakui adanya perbedaan karakter pada setiap individu, sehingga kita harus menghargainya. Kalau kita sebagai guru, sudah sepatutnya meneladani-Nya untuk kita aplikasikan dalam menyampaikan pelajaran yang dapat diterima oleh peserta didik yang berbeda-beda dalam kecerdasan dan karakter.
C. Penutup
Ayat-ayat muh}kam dan mutasya>bih adalah dua hal yang saling melengkapi dalam Al-Qur’an. Muh}kam sebagai ayat yang tersurat merupakan bukti bahwa Al-Qur’an berfungsi sebagai bayan (penjelas) dan hudan (petunjuk). Mutasya>bih sebagai ayat yang tersirat merupakan bukti bahwa Al-Qur’an berfungsi sebagai mukjizat dan kitab sastra terbesar sepanjang sejarah manusia yang tidak akan habis-habisnya untuk dikaji dan di teliti.
- Home
- No Label
- Muhkam Wa Mutasyabih
Muhkam Wa Mutasyabih
Related Post
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar