Seluruh umat Islam telah paham, bahwa sumber pedoman hidup manusia setelah al-Quran adalah Hadits. Hadits sendiri terdiri dari berbagai macam Hadits, salah satu diantaranya adalah Hadis Kudsi
A. Pengertian
Hadits dalam arti bahasa berarti baru, lawan kata qadim (lama). Menurut istilah, Hadits ialah apa saja yang disandarkan kepada Nabi s.a.w baik berupa perkatan, persetujuan atau sifat.
Sedangkan kata qudsi dinisbahkan kepada kata quds, yang secara bahasa berarti kebersihan dan kesucian. Menurt istilah yang disebut Hadits qudsi atau Hadits Rabbany adalah:
ما أخبرا لله نبيه بالإلهام أوبالمنام فأخبر النبي صلعم من ذلك المعنى بعبارة نفسه.
” Sesuatu yang dikabarkan Allah s.w.t kepada Nabi-Nya dengan melalui ilham atau impian, yang kemudian Nabi menyampaikan makna dari ilham atau impian tersebut dengan ungkapan kata beliau sendiri ”[1]
Maksutnya, Nabi meriwayatkannya bahwa itu dalah kalam Allah. Maka Rasul menjadi perawi kalam Allah ini dengan lafal dari Nabi sendiri. Bila seeorang meriwayatkan Hadits Qudsi, maka dia meriwayatkannya dari Rasulullah dengan disandarkan kepada Allah, dengan mengatakan:
” Rasulullah s.a.w mengatakan: Allah Taala telah berfirman atau berfirman Allah Taala.” ; atau ia mengatakan:
” Rasulullah S.a.w mengatakan mengenai apa yang di riwayatkan dari Tuhannya”
Seperti contoh Hadis Kudsi berikut:
عن أبى هريرة رضي الله عن رسول الله صلعم فيما يرويه عن ربه عزوجل: يد الله ملأى لايغيضها نفقة, سحا ء الليل والنهار. [أخرجه البخارى]
“ Dari Abu Hurairah r.a dari Rasulullah S.a.w mengenai apa yang diriwayatkan dari Tuhannya ‘azza wa jalla: Tangan Allah itu penuh,tidak oleh nafakah, baik diwaktu malam ataupun siang hari.” [2]
قال النبي ص م قال الله تعالى : اعددت لعبادى الصالحينن مالا عين رأت ولااذن سمعت ولا خطر على قلب بشر فاقرؤا ان شئتم, فلاتعلم نفس ما أخفيت لهم من قرةاعين.
“ Nabi S.a.w bersabda: Allah Ta’ala berfirman : “Aku telah menyiapkan hamba Ku yang saleh apa yang tidak pernah dilihat mata, tak pernah di dengar telinga, tak pernah tersirat di hati seorang manusia, karena itu, bacalah olehmu, jika kau kehendaki firman Allah” Maka tak ada seorangpun yang mengetahui sesuatu yang menyedapkan mata memandangnya, yang disembunyikan bagi mereka”. (H.R Bukhari)[3]
عن أبى ذر جندب بن جنادة عن النبى صلعم فيما يرويه عن الله تبارك وتعا لى ,انه قال: يا عبادى , ء نى حرمت الظم على نفسى وجعلته بينكم محرما !... [رواه مسلم]
“Dari Abu Dzarr Jundab bin Junadah r.a dari Nabi S.a.w. berdasarkan berita yang disampaikan Allah Tabaraka wa Ta’ala, bahwa Allah telah berfirman : Wahai hamba-Ku! Aku telah mengharamkan dhalim terhadap diri-Ku sendiri . Aku telah jadikan perbuatan dhalim itu terlarang antarra kamu sekalian. Karena itu janganlah kalian saling dhalim-mendhalimi…. (H.R Muslim)[4]
B. Perbedaan Antara Hadis Kudsi dengan Hadis Nabawi
Hadis kudsi biasanya diberi ciri-ciri dibubuhi kalimat-kalimat:
- Qala Allahu
- Fima yarwihi ’anillahi Tabaraka wa Ta’ala dan
- Lafal-lafal lain yang semakna dengan yang tersebut diatas
Sedang untuk Hadis Nabawi tidak ada tanda-tanda yang demikian
Mengenai perbedaan yang lain, timbul dua macam syubhah:
Pertama: Bahwa hadis nabawi ini juga wahyu secara maknawi yang lafalnya dari Rasulullah S.a.w. Tetepi mengapa hadis nabawi tidak kita namakan hadis kudsi? Jawabannya karena kita merasa pasti tentang hadis kudsi bahwa ia diturunkan maknaya dari Allah karena ada nas syara’ yang menisbahkannya kepada Allah; yaitu seperti kata-kata Rasulullah S.a.w: Allah Ta’ala telah berfirman, Hal ini berbeda dengan hadis nabawi, karena hadis nabawi itu tidak memuat nas seperti ini.[5]
Kedua: Bahwa apabila lafal hadis kudsi itu dari Rasulullah S.a.w,maka dengan alasan apakah hadis itu dinisbahkan kepada Allah melalui kata-kata Nabi ” Allah Ta’ala telah berfirman” atau ”Allah Ta’ala berfirman?”. Jawabanyya ialah bahwa hal yang demikian sbisa terjadi dalambahasa Arab, yang menisbahkan kalam berdasarkan kandungannya,bukan berdasarkan lafalnya. [6]
B. Perbedaan al-Quran Dengan Hadits Qudsi
Dalamkitab Kulliyat abd Baqa’ diterngakan perbedaan antara al-Quran dengan hadis Kudsi.
Abdul Baqa’menerangkann , bahwa al-Qur’an ialah: lafal dan makmnanya dari Allah, diterima dengan wahyu yang terang. Adapun hadis Kudsi adalah yang lafalnya dari Rasulullah sendiri, sedang ma’naya dari Allah, diperoleh Rasul dengan jalan Ilham, ataupun dengan jalan mimpi.[7]
Disamping itu ada beberapa perbedaan antara al-Qur’an dengan Hadis Kudsi, dan yang terpenting adalah:
1. Al-Quranul Karim dari Allah , baik lafal ataupun maknanaya. Maka ia adalah wahyu, baik dalam lafal ataupun maknanya. Sedang hadis kudsi maknanya saja dari Rasulullah S.a.w
2. Membaca al-Qur;anul Karim merupakan ibadah; karena itu ia dibaca dalam Salat. Sedang Hadis Kudsi tidak disuruh membacanya dalam salat.
3. Semua lafal (ayat-ayat) al-Qur’an adalah mukjizat dan mutawatir, sedang hadis kudsi tidak demikian
4. Ketentuan hukum yang berlaku bagi al-Qur’anbn,tidak berlaku bagin al-Hadis, seperti pantangan membacanya bagi yang sedang berhadas kecil dan besar. Sedang hadis kudsi tidak ada pantangannay.
5. Setiap huruf yang dibaca dari al-Qur’an memberikan hak pahala kepada pembacanya sepuluh kebaikan.
6. Meriwayatkan al-Qur’an tidak boleh dengan maknanya saja atau mengganti lafal sinonimnya. Berbeda dengan al-Hadis[8]
Demikianlah penjelasan dari Hadis Kudsi. Semoga dalam penjelasan ini dapat memberi manfaat kepada kita tentang ilmu Hadis terutama Hadis Kudsi. Salawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Rasul Muhammad S.a.w, kepada keluarga dan para sahabatnya dan kepada seluruh pengikutnya yang senantiasa melaksanakan ajaran dan sunnahnya. Amiin.
Daftar Pustaka
Ash Shiddieqy, M. Hasbi, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis Jilid pertama,Jakarta: Bulan Binytang,cet ke tujuh, 1987
Al-Qattan, Manna’ Khalil, terj Mabahis Fi Ulumil Quran, Jakarta:cetakan ke 12,2009
Rahman, Fathur, Ihtisar Musthalahul Hadis,Bandung:al-Ma’arif,1974
[1] Fathur Rahman, Ihtisar Musthalahul Hadis,Bandung:al-Ma’arif,1974, hlm 69
[2] Manna’ Khalil al-Qattan, terj Mabahis Fi Ulumil Quran, Jakarta:cetakan ke 12,2009,hlm 25
[3] M. Hasbi ash Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis Jilid pertama,Jakarta: Bulan Binytang,cet ke tujuh, 1987,hlm 352
[4] Fathur Rahman,opcit, hlm70
[5] Ibid.
[6]Manna’ Khalil al-Qattan,Opcit, hlm 29
[7] M. Hasbi ash Shiddieqy,Opcit,hlm 349
[8] Fathur Rahman,opcit, hlm 71
0 komentar